Mimpi Semalam
Kulipat rukuh dan sajadahku dengan malas. Sudah terbayang
bantalku yang empuk dan selimut tipisku yang hangat. Musik instrumental yang meninabobokanku
akan terputar melalui handphone. Walaupun mungkin tercampur dengan suara adikku
yang sibuk bermain playstation tepat
di depan kamarku.
Ah, tak apa. Bila aku mengantuk, aku bisa mengabaikan
semuanya.
“Aku tidur ya, Bu.”
*
Tidur setelah sholat subuh tidak pernah dianjurkan. Apalagi
sebelumnya makan sahur. Tapi mau bagaimana lagi?
Kupejamkan mata. Gelap. Kubuka mataku. Gelap. Kupejamkan
lagi. Kubuka lagi. Gelap.
Selimut, musik, dan kamar gelap. Aku siap untuk tidur.
TRIING
Sial. Siapa yang berani membuatku membaca dan membalas pesan
tepat sebelum aku tidur? Haruskah kubuka? Mungkin harus. Siapa tahu ini
penting.
Ternyata hanya orang yang bertanya tentang rankingku di
daftar seleksi SMA. Sudah kubalas. Aku bisa tidur.
TRIING
Kenapa pesanku dibalas dengan cepat? Di saat aku terjaga,
kenapa orang-orang membalas dengan lambat? Aku terlalu malas. Maafkan aku. Aku
berjanji akan membuka dan membalasnya begitu aku bangun nanti.
*
Sudah berapa lama aku tidur? Kemarin aku bangun pukul sepuluh.
Kemarinnya lagi pukul sebelas. Sekarang pasti belum terlalu siang karena juga belum
ada sinar matahari yang masuk ke kamarku melalui jendela. Walaupun keadaan
sudah lumayan terang. Ah iya. Aku hampir lupa janjiku sebelum aku tidur tadi.
Kuraih handphoneku dan kulihat isi notifikasinya. Aku
tersentak. Pesan yang masuk terakhir bukan dari orang yang sama. Bukan dari orang
yang menanyakan rankingku di daftar seleksi SMA tadi. Ini....
Dia.
Sudah lumayan lama sejak terakhir kami berkirim pesan. Terakhir ia hanya menanyakan
tentang pembagian surat sekolah. Setelah itu, tidak ada lagi aku yang tertawa
membaca balasannya. Atau aku yang menunggu pesannya sampai malam. Atau aku yang
menyiapkan keberanian untuk menyapanya terlebih dahulu. Kukira hal ini mustahil
akan berlanjut. Namun mengapa sekarang ....?
“Jangan tidur habis
sahur. Ga baik.”
Begitu isinya. Entah apa yang kurasakan sekarang. Aku telah
mengubur harapanku walaupun tidak terlalu dalam. Aku senang. Aku sedih. Dan
kurasa, aku juga marah.
“Terlanjur. Ini aja
baru bangun.”
Terkirim. Aku harus bersikap biasa. Aku membalasnya seperti
aku yang biasanya. Namun keadaanku di sini sama sekali tidak biasa.
Aku tak ingin membohongi diri sendiri. Aku senang. Ya, aku
senang. Aku sangat senang! Aku melompat dari kasurku dan berlari ke depan
cermin. Kutatap bayanganku yang tersenyum sangat lebar. Aku terlalu senang.
Entah mengapa aku ingin mengganti pakaianku dan berlari ke
luar rumah. Ini sudah menjadi kebiasaanku bila terlalu gembira. Aku sangat
ingin berlari hingga aku tak dapat merasakan kakiku. Kadang kulakukan, kadang
tidak. Tentu saja kulakukan ketika jalanan sepi. Segera kubuka lemariku dan
mencari celana olahraga.
BRUK!
Sesuatu terjatuh mengenai jari-jari kakiku.
Apa ini? Biola? Sejak kapan aku memiliki biola? Aku bahkan
tidak dapat memainkan alat musik ini.
Kulihat isi lemariku.
Ini bukan lemariku.
Lemariku berisi pakaian dan beberapa alat fotografi. Bukan
koleksi biola. Ada selusin biola di lemari ini. Tidak termasuk yang kupegang
saat ini. Mungkin tidak ada salahnya aku mencoba memainkan biola ini. Aku
sering melihat temanku bermain biola dan tampaknya tidak terlalu sulit.
*
Telingaku sakit. Aku menggesek senarnya terlalu keras.
Alih-alih menghasilkan suara merdu, malah suara tak bernada yang kudengar.
Kenapa aku berada di tempat tidur? Semenit yang lalu aku
berdiri di depan lemari.
Segera kubuka lemariku. Pakaian dalam, kaos berserakan,
celana yang tak terlipat rapi, jilbab, dan rok serta kemeja yang tergantung. Di
bagian bawah terdapat tas-tas bekas dan kotak hitam berisi kamera. Tidak ada
biola.
Tadi itu hanya mimpi.
Aku baru menyadari hal itu setelah memejamkan mataku. Aku
berniat melanjutkan tidurku. Bukan karena aku ingin melanjutkan mimpi
sebelumnya. Namun karena sinar matahari belum menyapa kamarku.
Mungkin sedikit lagu dapat menemaniku. Kuraih handphone,
seketika aku teringat janjiku. Mau tak mau aku harus menepatinya.
Aku tersentak. Lagi. Aku merasa de javu dengan keadaan ini.
Aku meraih handphone, aku melihat notifikasi, dan aku
tersentak karena aku menerima pesan dari orang yang kupikir tidak akan
menghubungiku.
“Bangun.”
*
Rasa senang ini terulang lagi. Ya. Aku baru saja
merasakannya di dalam mimpi. Siapa yang menyangka mimpimu akan menjadi nyata
dalam sekejap? Tentu saja mimpi yang kubicarakan adalah mimpi yang kau dapat
saat tidur.
“Udah bangun :b”
Terkirim.
Aku menggigit gulingku. Aku sangat gembira hingga ingin
berteriak. Namun tak bisa. Aku akan dicap sebagai orang gila jika aku berteriak
hanya karena mendapat pesan darinya.
TRIING
Ah, pesanku dibalas.
“lihat ke pintu”
*
KRIIIEEEEKK
“Lho. Kukira kamu belum bangun. Makanya aku langsung masuk
kamar. Aku mau nyapu.”
“Aku juga barusan bangun, mbak. Nyapu aja nggak apa-apa.”
“Jendelanya mbak buka, ya?”
“Iya.”
Sinar matahari segera masuk melalui jendela kamarku. Di luar
kamar, adikku dan temannya berkutat dengan game di playstation sambil sesekali berteriak. Tentu saja. Betapa bodohnya
aku. Adikku pasti akan bermain playstation
dari subuh hingga jam makan siang. Seharusnya aku sadar yang tadi itu hanyalah
mimpi. Karena suasananya sangat sepi.
Berbeda dengan detik ini. Suara orang berbincang-bincang di
depan rumah, teriakan adikku di luar kamar, kucing yang mengeong karena
kelaparan, dan suara mesin cuci tua yang dipaksa untuk membersihkan setumpuk
pakaian kotor.
Ah, iya. Janji itu. Aku harus menepatinya sekarang karena
hari sudah mulai siang.
Sebelum membuka kunci handphone,
aku berdoa. Semoga aku mendapat pesan darinya. Seperti di dalam mimpiku tadi.
Atau seperti mimpi yang ada di dalam mimpiku tadi.
Komentar
Posting Komentar