The Date


29 April, 20.28 WIB
Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Kututupi tubuhku dengan bedcover baru yang dibelikan ibu tempo hari. Aku tersenyum, tertawa sendiri. Aku terlalu senang sampai tak bisa menyembunyikan ekspresiku. Untung aku hanya sendiri di dalam kamar.

29 April, 11.19 WIB
            “Sha, katanya kamu mau milih tas? Kita udah di tokonya, nih. Kok malah bengong?” suara Agus membuyarkan lamunanku.
            “Eh, iya… Sori, Gus. Habisnya aku senang.” Ujarku.
            “Senang?” tanya Agus.
            Aku tergagap seketika. Malu. “Eh, nggak gitu… Maksudku…” Agus hanya terkekeh dan menggelengkan kepala.
            Aku pun menyibukkan diri dengan melihat-lihat berbagai macam tas. Mulai dari ransel sampai tas tangan yang kecil namun harganya selangit. Akhirnya kuputuskan untuk memilih tas ransel merah dengan bahan replika kulit.
            “Ini aja deh, Gus. Simpel tapi masih kelihatan kalau ini tas cewek. Menurutmu gimana?”
            Agus memutar-mutar tas yang kupilih. “Iya, ini cocok, Sha. Warnanya juga cantik.”
            “Eh, tapi… Harganya…” Aku baru saja sadar tadi aku belum melihat harga tas ini. Ternyata cukup mahal.
            “Alah, nggak apa-apa, Sha. Yuk, ke kasir.”
            Aku melongo melihat Agus membawa ransel merah itu ke kasir yang sepi, dan membayarnya dengan uang tunai.

29 April, 20.30 WIB
            Aku menangis. Menangis sekuat-kuatnya. Padahal semenit yang lalu aku masih tak dapat mengontrol senyumku hingga pipiku sakit.
            Aku tahu mengapa aku menangis seperti ini. Aku ingin berteriak tapi tak bisa kulepas. Aku takut seluruh keluargaku masuk ke kamar dan membawaku ke rumah sakit. Aku hanya bisa menggigit bedcover baruku. Membasahinya dengan air liur dan air mata.
            Hatiku sakit.
            Padahal tadi aku berjalan-jalan bersama Agus. Seperti yang selalu ada dalam lamunanku di siang bolong.
            Dadaku sesak.
            Bahkan dia juga membelikan es krim di kedai favoritku.
            Padahal sebenarnya aku juga telah mengetahui agenda kami sebelum aku berangkat.
            Kebingungan melanda dalam otakku.

29 April, 11.33 WIB
            “Sha, sebagai balas budi buat kamu karena udah milihin kado buat pacar aku… Aku beliin es krim, deh. Yang itu mau nggak?” Agus menunjuk kedai es krim yang sering aku kunjungi.
            “Bo, boleh! Siapa coba yang bisa nolak?” aku memaksakan diri untuk tertawa.
            “Ayo, kalau gitu!”
Agus menarik lenganku sambil tersenyum lebar dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya membawa tas merah yang aku pilih beberapa saat yang lalu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer